Kamis, 13 Maret 2008

Andai Aku Bukan Indonesia

Merajut Harapan Tinggal di Daerah Perbatasan

Oleh: Jesco Siahaan

Pendahuluan

Siapapun pasti akan tergoda bila “melihat rumput tetangga jauh lebih hijau.” Namun apakah yang terjadi jika perasaan tersebut dihadapkan dengan rasa nasionalisme seseorang?

Secara geografis, Negara Kesatuan Republik Indonesia ini merupakan kesatuan dari sebanyak 18.110 pulau. Sungguh sebenarnya merupakan suatu keunikan tersendiri bagi Pemerintah di dalamnya untuk memanage negara ini sedemikian rupa sehingga wacana dalam alinea IV UUD 1945 secara penuh menjadi sebuah fakta. Komitmen untuk melakukan pembangunan nasional tentunya menjadi tanggung-jawab dari semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat itu sendiri. Konteks yang demikian, tentunya harus dilakukan dengan pendekatan secara holistik yang mencakup semua bagian dan wilayah bangsa. Posisi geografis RI yang diapit oleh dua benua dan dua samudera menjadikan Indonesia memiliki batas wilayah internasional dengan 10 negara tetangga. Dengan keyataan geografis seperti ini, tentunya berpengaruh besar terhadap tanggung jawab pemerintah dalm mengelola daerah perbatasan. Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara, ia juga mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam, menjaga menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Oleh karena itu, masalah perbatasan sejatinya tidak hanya sekedar masalah mengenai daratan dan lautan ataupun pergerakan manusia sebagai pelintas batas, namun juga menyangkut masalah kesatuan dan harga diri sebuah bangsa yang berdaulat. Perbatasan sebuah negara menunjukkan kompleksitas tersendiri yang menunjukkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnis yang berbeda, ia bahkan membelah etnis yang sama kaena adanya sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama.

Kondisi Daerah Perbatasan Kita dan Permasalahannya

Pada kenyataannya di kawasan perbatasan, banyak sekali ditemukan fakta-fakta yang menyedihkan bahkan ironis. Setidaknya itulah yang terjadi di kawasan perbatasan darat yang memisahkan antara negara Indonesia dengan negara Malaysia di pulau Kalimantan. Bayangkan, untuk mencapai Kecamatan Badau, Kabupaten kapuas Hulu, Kalimantan Barat, membutuhkan waktu hampir 20 jam perjalanan darat dari Pontianak (Ibu Kota Kalbar). Sulitnya akses ke daerah perbatasan membuat kawasan ini sering luput dari pengawasan aparat. Di kawasan perbatasan Kalimantan Barat secara faktual banyak ditemukan kasus pelanggaran keimigrasian, penyelundupan barang bahkan manusia (human trafficking), dan pencurian sumber daya alam. Adalah kenyataan bahwa patok-patok (tanda) batas antar negara merupakan persoalan yang layak dicermati. Contoh dari tidak jelasnya patok perbatasan dapat disaksikan di Kecamatan Badau tersebut. Di perbatasan Kalbar-Serawak Malaysia ini hanya ada sebuah tanah lapang yang ditengahnya terdapat papan bertuliskan “Perbatasan Indonesia-Malaysia” tanpa diserta adanya pagar pembatas ataupun bangunan lainnya yang menandakan bahwa itu adalah sebuah patokan perbatasan antar negara. Kenyataan ini memudahkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab memindahkan posisi atau merusaknya karena semata-mata mereka ingin mencari keuntungan dengan mengabaikan resiko melanngar kedaulatan sebuah negara. Hal tersebut setidaknya telah terjadi sekitar tahun 2006 yang lalu di Kecamatan Entikong, Kalbar, dimana suku dayak iban yang menempati daerah itu bertetanggaan dengan saudara mereka satu suku tetapi tempat tinggal tetangga mereka tersebut masuk wilayah negara Malaysia. Ironisnya suku dayak iban yang tempat tinggalnya masuk wilayah negara Malaysia kondisi ekonominya jauh lebih sejahtera dibanding suku dayak iban yang tempat tinggalnya masuk wilayah Indonesia. Lalu yang terjadi adalah mereka yang tinggal di Indonesia menggeser patok perbatasan agar tempat tinggal mereka masuk wilayah Malaysia atau dengan cara mobilisasi penduduk ke negara Malaysia. Kaburnya garis perbatasan antar negara akibat rusaknya patok-patok oerbatasan di Kalbar dan Kaltim menyebabkan sekitar 200 hektar hutan di Indonesia berpindah masuk menjadi wilayah Malaysia (Media Indonesia, 21 Juni 2001). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Badan Informasi Publik Departemen Komunikasi dan Informatika di daerah perbatasan di Kalbar dan Kaltim menunjukkan bahwa sebagian besar warga Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan tersebut menyatakan bahwa negara tetangga (malaysia) lebih baik dari negara Indonesia dengan alasan bahwa di negara tesebut mudah mendapatkan pekerjaan, gaji lebih tinggi, fasilitas umum lebih memadai dan pelayanan publik lebih baik.

Sengketa Pulau Sipadan Ligitan dan Blok Ambalat merupakan salah satu permasalahan batas negara Indonesia dan Malaysia. Selain itu arus masuknya manusia dan masalah illegal logging terus terjadi di daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Maraknya illegal logging didkung dengan dana dari pengusaha kayu Malaysia. Pemerintah Malaysia seperti menutup mata atas kasus yang merugikan Indonesia ini. Salah satu sumber buku menyatakan bahwa Malaysia bahkan “memutihkan” kayu ilegal menjadi legal dengan cara diberi label legal untuk selanjutnya dijal ke Eropa dan Jepang dalam bentuk log, setengah jadi, maupun produk furnitur yang sudah jadi. Kurangnya penegakan hukum bagaikan jalang yang bolong dengan bebasnya cukong-cukong kayu ilegal dari tangan penegak hukum. Begitu juga dengan kasus Human Trafficking yang rentan terjadi. Alur yang biasa digunakan adalah dengan cara menipu sejumlah wanita dengan iming-iming pekerjaan dengan gaji besar dengan bekerja di bidang hiburan, lalu selanjutnya para korban diberangkatkan ke Malaysia melalui Entikong (Kaltim) dan selanjutnya dibawa ke Kuala Lumpur dan dipekerjakan disana sebagai pekerja seks komersial tanpa upah (Tempo, 17 Februari 2008). Prosedur keimigrasian yang menggariskan bahwa paspor diperlukan sebagai izin untuk melintas batas diabaikan. Kebanyakan para pelintas batas tidak memiliki paspor untuk melintasi batas negara, hal ini disebabkan oleh mahal dan berbelitnya prosedur pembuatan paspor juga oleh karena banyaknya jalan tikus yang dengan mudah dapat dilintasi untuk menyebrang ke negara tetangga. Hal ini seharusnya dapat ditanggulangi dengan memperbanyak kuantitas pos penjagaan perbatasan si sepanjang jalur darat perbatasan.

Konsepsi Pembangunan Daerah Perbatasan

Secara garis besar terdapat dua hal penting yang harus dilakukan yaitu pembangunan daerah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan untuk mengangkat taraf kehidupan masyarakat setempat dan pendekatan keamanan yang diperlukan guna terciptanya stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan sehingga memungkinkan terwujudnya keserasian hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara tetangga di sepanjang daerah perbatasan.

Penerapan kedua pendekatan tersebut dijadikan landasan tujuan pembangunan daerah yang terintregasi dan berkelanjutan, yakni:
a. Arah Pembangunan.

Arah pem-bangunan daerah perbatasan diprioritaskan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh pelosok daerah perbatasan guna meningkatkan kesejahteraan, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat di wilayah perbatasan serta pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu sesuai semangat otonomi daerah yang dinamis, serasi dan bertanggung jawab sehingga pada gilirannya dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

b. Tujuan Pembangunan Daerah Perbatasan.

Tujuan jangka panjang pembangunan daerah perbatasan yaitu untuk mewujudkan kehidupan masyarakat daerah perbatasan yang sejahtera dan berkeadilan dalam keharmonisan hubungan dalam segala aspek kehidupan.

Penutup

Sudah sepatutnya permasalahan di daerah perbatasan ini dijadikan isu penting bagi pemerintah untuk lebih serius lagi dibenahi. Efektifkan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjaga keutuhan kedaulatan negara kita ini. Perlebar jaringan komunikasi untuk terus menjaga kesadaran kebangsaan sebagai bangsa Indonesia. Percepatan pembangunan daerah perbatasan dengan membangunan pusat pertumbuhan tentunya ditujukan dalam upaya menjadikan daerah perbatasan sebagai kawasan pertumbuhan lintas batas internasional, kawasan perbatasan antarnegara, kawasan yang mendukung kepentingan pertahanan keamanan nasional.

Sumber:

1) Pusat Pengelolaan Pendapat Umum Departemen Komunikasi dan Informatika. Menelusuri Batas Nusantara:Tinjauan Atas Empat Kawasan Perbatasan. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2006.

2) http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=6

3) http://www.tribunkaltim.com/TRIBUN-KALTIM-TERKINI/Daerah-Perbatasan-Perlu-Pembangunan-Terpadu.html