Kamis, 01 Mei 2008

URGENSI PENERAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN ANALISISNYA BERDASARKAN UU PT NO.40 TAHUN 2007

Oleh: Jesco Siahaan*
Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah bangsa yang memilki kekayaan yang tidak terhingga, mulai dari budaya, flora fauna, dan sumber daya alamnya. Karena NKRI merupakan negara kepulauan yang tiap pulaunya terpisah oleh laut, luas area lautan pun lebih luas dibandingkan dengan luas area daratannya. Tidak heran jika NKRI sering disebut sebagai negara bahari. Bermacam–macam latar belakang suku daerah menambah kekayaan khasanah NKRI. Iklim tropis membuat flora dan fauna di wilayah NKRI sangat beragam dan memiliki ciri khas sendiri yang tidak akan ditemukan di negara negara lain. Kesuburan tanah telah diketahui banyak bangsa lain, sehingga ada idiom yang mengatakan “di Indonesia, lempar tongkat kayu bisa menjadi pohon, lempar batu bisa menjadi pohon”. Terlebih lagi mengenai sumber daya alam, mulai dari batu mulia sepert berlian, hingga minyak bumi yang sekarang menjadi bahan bakar utama semua negara di dunia, semua dimiliki oleh bangsa ini.. Selain kaya akan alam, NKRI kaya pula akan populasi. NKRI menduduki peringkat 4 negara yang memiliki populasi terbesar di dunia. Populasi tersebut mengakibatkan besarnya kebutuhan yang dibutuhkan oleh rakyat NKRI.
Semua potensi itu menarik Investor baik dalam negeri maupun luar negeri untuk membuka usahanya di NKRI. Segala macam lapangan usaha mulai dari ekstraktif, agraris maupun jasa, dibuka dan dikembangkan oleh berbagai pengusaha. Dengan begini, NKRI tersentuh oleh modernisasi dan kebutuhan rakyatnya akan terpenuhi. Tingkat ekonomi NKRI pun terus meningkat seiring dengan banyaknya perusahaan yang menjalankan usahanya di NKRI. Dengan isu akan globalisasi, NKRI pun akan menjadi lebih tangguh jika didukung dengan indeks ekonomi yang selalu naik.
Namun, apakah benar yang diuntungkan adalah seluruh komunitas NKRI? Dengan bertambah pesatnya perusahaan-perusahaan yang mengeruk keuntungan dari bangsa kita, apakah kita sadar bahwa kita telah rugi besar. Yang diuntungkan hanyalah pihak pengusaha saja. Seharusnya perusahaan tidak hanya melulu memperhatikan bagaimana menghasilkan laba yang besar, namun harus juga mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat yang berada disekitarnya dan apakah dampak yang ditimbulkan dari pengoperasian usahanya tersebut. Disini muncul sebuah konsep yakni perusahaan harus mengintegrasikan nilai-nilai lingkungan, sosial dan laba,yakni Company Social Responsibility (CSR) atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Tanggung Jawab Sosial dan lingkungan. Perlunya penerapan CSR telah disadari oleh pemerintah NKRI, maka dari itu pemerintah mewajibkan penerapan NKRI terhadap perseroan terbatas di dalam UU no. 40 tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas. Permasalahan tidak selesai disini, karena mewajibkan penerapan CSR merupakan hal yang kontroversial di kalangan pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Disaat perdebatan ini dilandaskan oleh kepentingan segelintir golongan dan bukan untuk kepentingan bangsa, perdebatan ini tidak akan ada habisnya dan jika tidak segera diselesaikan, bangsa ini akan menuju pada titik kehancuran.
Pengertian CSR
Berikut adalah beberapa pengertian CSR :
1) UU no. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas hidup dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
2) European Commission
a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis.
3)World Businnes Council of Sustainable Development
commitment of business to contribute to sustainable economic development, working with employees, their families, the local community and society at large to improve the quality of life.

Peran CSR dalam Strategi Bisnis
Berikut beberapa permasalahan bisnis yang menjadi alasan kuat terhadap penerapan CSR:
1. Pengelolaan Reputasi
Perusahaan sekarang tidak hanya memberi perhatian terhadap produk atau layanan mereka, tetapi juga terhadap reputasi, merek dagang, goodwill, dan modal intelektualitas. Hal seperti itu tidak dapat diraba dan memiliki nilai berharga terhadap neraca perdagangan perusahaan. CSR merupakan strategi yang tepat untuk memastikan reputasi sebuah perusahaan.
2. Pengelolaan Risiko
Penanaman modal di suatu perusahaan adalah sebuah pertaruhan, dan investor ingin melihat bahwa perusahaan tersebut aman untuk dijadikan bahan pertaruhan. Dengan CSR berarti perusahaan harus lebih berhati-hati terhadap isu yang mungkin bisa membuat para investor terhasut. Hal ini tidak harus berarti menghilangkan isu isu tersebut. Namun, hal ini haruslah berarti menempatkan ideologi di sekitar isu tersebut atau membuat kesepakatan dengan sudut pandang mereka.
3. Kepuasaan Pekerja
Terdapat 3 dari 5 orang melaporkan bahwa mereka mau bekerja untuk perusahaan yang memilki nilai dan konsisten terhadap mereka, memperhatikan pekerja adalah tanggung jawab perusahaan, sehingga para pekerja bisa bekerja dengan baik. Perlakuan seperti ini bisa meningkatkan kualitas pekerja mereka.
4. Hubungan dengan Investor dan akses terhadap modal
Banyak investor menyadari bahwa perusahaan yang menerapkan lebih banyak CSR merupakan tempat yang lebih aman untuk berinvestasi. 86% investor percaya bahwa CSR akan memberikan efek positif terhadap dunia bisnis.
5. Persaingan dan penempatan pasar
Berinvestasi dalam CSR berarti perusahaan tersebut bisa menempatkan dirinya sebagai penguasa pasar dalam bidangnya, dan kedepannya akan menjadi sebuah tantangan ketika ada peraturan yang mengikatnya atau ketika perusahaan yang lain menjadikan juga CSR sebagai strategi bisnis mereka.
6. Mempertahankan izin untuk beroperasi
Ketidakpercayaan terhadap perusahaan telah menyebarluas, ketika hanya sedikit orang yang mendapatkan keuntungan dari perusahaan terhadap lingkungan sosialnya. Terlebih lagi banyak keluhan pekerja mengenai peningkatan stres, bekerja melampaui batas, dan ketidaknyamanan dalam bekerja. Pada kondisi tersebut, perusahaan melihat izin operasional mereka secara sosial didalam ancaman. Perusahan merespon hal tersebut dengan cara berusaha menyakinkan masyarakat bahwa mereka memiliki pengaruh positif.

Urgensi CSR bagi Indonesia
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) pada dasarnya merupakan bentuk obligasi moral dan etika perusahaan terhadap keberlangsungan pembangunan termasuk kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri. Dengan memandang bahwa implementasi CSR sebagai upaya perusahaan untuk mencapai keseimbangan jangka panjang dalam kaitannya dengan eksistensi perusahaan tersebut, semestinya penerapan CSR tidak harus dipaksakan melalui undang-undang. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah obligasi moral dan etika tersebut sudah dilaksanakan dengan baik oleh organisasi bisnis di Indonesia? Dengan mewajibkan perusahaan menerapkan CSR melalui undang-undang, berarti dianggap bahwa kesadaran dan nilai-nilai paradigama baru tersebut belum dijalankan dengan baik, sehingga perlu aturan yang memaksa agar kewajiban moral tersebut dilaksanakan. Untuk mengetahui pentingnya implementasi CSR di tanah air, maka perlu diketahui kaitan-kaitannya dengan beberapa hal, yakni:
A. Dikaitkan dengan UUD 1945 Sebagai Konstitusi Negara
Posisi undang-undang dasar 1945 di Indonesia adalah sebagai sebuah konstitusi negara. UUD 1945 di negara Indonesia berfungsi sebagai aturan-aturan pokok yang berisi pokok-pokok kebijaksanaan negara, juga aturan-aturan untuk memberlakukan dan memberikan kekuatan mengikat kepada norma-norma hukum peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain menggariskan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Oleh karenanya, CSR sebagai sebuah kebijakan disertai aturannya dalam bentuk perundang-undangan haruslah sesuai dengan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Dengan diterapkannya CSR, maka akan terdapat sebuah kepastian hukum seperti yang diatur dalam pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 bagi dunia usaha. Dilaterbelakangi oleh makin maraknya kasus-kasus yang membuktikan minimnya tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia, dengan adanya CSR merupakan sebuah bentuk tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan yang dapat memberikan kepastian hukum dunia usaha terhadap pelaku usaha yang ingin berinvestasi di Indonesia nantinya. Selain itu setidaknya terdapat beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur bahwa CSR merupakan sebuah kewajiban, di antaranya adalah UU No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan UU No.40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas (PT).
Melalui program CSR, para pengusaha diharapkan tidak hanya peduli terhadap lingkungan, tetapi juga diharapkan akan memperhatikan pendidikan, rumah ibadah, infrastruktur, dan lingkungan sekitar sehingga tidak sampai timbul kecemburuan sosial antara pengusaha dengan rakyat dan sebaliknya. Ini semua berguna tidak hanya bagi para pengusaha, tapi juga berguna bagi negara dan masyarakat luas, sehingga ada sebuah kepastian hukum dalam rangka mengelola aset negara ini lewat PT yang ada. Dalam pasal 74 ayat (1) jo. Penjelasan pasal 74 ayat (1) UU PT no.40 tahun 2007 ditentukan bahwa perseroan yang diwajibkan melakukan CSR adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Hal tersebut tentunya sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 33, utamanya yang berkaitan dengan tujuan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang selama ini belum terwujud dan dirasakan rakyat. Menerapkan CSR dengan jalan membangun gedung-gedung sekolah ataupun membagi buku pelajaran secara gratis kepada masyarakat juga berarti telah merealisasikan pembukaan UUD 1945 alinea IV yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan juga pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Demikian konsep CSR dalam kaitannya dengan UUD 1945, maka dapatlah disimpulkan bahwa dilihat dari sudut konstitusi, konsep CSR merupakan sebuah konsep yang baik dan diperlukan penerapannya di Indonesia.
B. Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi
Tak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia adalah negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam yang setidaknya oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 diamanatkan penggunaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun perlu diingat pula bahwa pembangunan ekonomi khususnya yang berkaitan dengan sumber daya alam tidak hanya diisi oleh pemerintah tetapi juga pihak swasta nasional maupun multinasional dimana para pihak harus memperhatikan dan berpegang pada tujuan sustainable development, yakni pemenuhan kebutuhan generasi yang sekarang tanpa mengganggu generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya.
CSR dalam bentuk sukarela mengisyaratkan bahwa meskipun sebuah korporasi tidak menerapkan konsep CSR, maka korporasi tersebut tidak dapat dikenakan sanksi hukum apapun, karena konsep yang terdapat dalam CSR belum menjadi norma hukum dan tidak memiliki sanksi yang memaksa, sehingga jika diperhatikan konsep ini mirip seperti lex imperfecta (Menurut Sudikno Mertokusumo Lex Imperfecta adalah suatu istilah yang diberikan kepada suatu norma hukum yang mengikat setiap individu di dalam masyarakat tetapi tidak memiliki sanksi apapun yang dapat diberikan kepada setiap individu yang melanggar norma hukum tersebut).
Jika menilik kembali pada kondisi yang terjadi di negara luar untuk menilai urgensi penerapan CSR, maka harus dibedakan ukuran penaatan yang dilakukan oleh organisasi bisnis di negara luar. Disamping itu, tren perkembangan globalisasi menunjukan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Di Inggris dan Belanda misalnya, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal, disamping penilaian dari publik sendiri. Kalau perusahaan itu tidak pernah melakukan CSR justru kinerja saham dia di bursa saham kurang bagus.
Lain halnya dengan kondisi di Indonesia. Jika dikaji mengenai perilaku sebagian besar organisasi bisnis, yang terjadi belum tentu mereka akan melakukan CSR secara voluntary meskipun sebagian kecil sudah. Bahkan yang terjadi justru perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan perusahaan juga cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar. Beberapa kasus pun sempat mencuat dan menjadi perhatian publik, diantaranya kasus lumpur Lapindo di Porong-Sidoarjo, lalu konflik masyarakat Papua dengan PT Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran lingkungan oleh Newmont di Teluk Buyat, dan sebagainya. Data terakhir menurut pengamatan seorang pakar Corporate Culture yang juga pengamat CSR menyebutkan bahwa kini ada sekitar 30-40 persen perusahaan di Indonesia telah menjalankan CSR. Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan di atas, maka urgensi konsep CSR di negara kita sudah sepantasnya untuk diterapkan dan lebih lagi dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Analisis Pengaturan CSR dalam UUPT dan Rekomendasi Perubahannya
Pemerintah Indonesia telah membuat regulasi yang mengatur CSR menjadi sebuah kewajiban pada undang-undang payung yang mengatur PT, yakni UU no.40 tahun 2007 tentang PT tepatnya pada pasal 74. Namun berdasarkan hasil analisis penulis, ditemukan “celah hukum” dalam undang-undang tersebut yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki itikad baik untuk menjalankan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundanng-undangan. Oleh karena itu, penulis mengusulkan beberapa perubahan pada beberapa pasal yang terdapat dalam UU 40 tahun 2007 tersebut, yakni:
Ayat 1: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.”
Yang menjadi permasalahan dalam ayat ini adalah adanya kata wajib. Kata “wajib” ini memiliki makna paksaan (imperatif), sehingga dapat menimbulkan kesan keterpaksaan bagi perusahaan-perusahaan yang akan menjalankan tanggung jawab lingkungan dan sosial tersebut. Perusahaan yang baru terbentuk tentu akan merasa keberatan karena dana yang dikeluarkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat membebani anggaran dari perusahaan tersebut. Namun apabila kata “wajib” ini dihapuskan atau diganti, maka tidak ada yang dapat menjamin bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan yang seharusnya dilakukan oleh suatu perusahaan akan dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa kata “wajib” patut untuk dipertahankan.
Namun demikian, untuk menghindari kesan keterpaksaan terhadap perusahaan-perusahaan baru dan demi keadilan, perlu ditetapkan sebuah standar pengeluaran biaya untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan ini. Menurut penulis, standar yang paling tepat dan adil adalah dengan sistem persentase. Sistem persentase ini adalah besarnya persentase dari laba/laba bersih perusahaan yang wajib dikeluarkan untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Persentase yang dikeluarkan dapat berupa persentase tetap atau dalam range tertentu.
Ayat 2 : “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.”
Dalam ayat ini, yang dapat dipermasalahkan adalah masuknya CSR ini dalam biaya perusahaan dan kata-kata “kepatutan dan kewajaran”.
Masuknya CSR ke dalam biaya perusahaan dapat menimbulkan beberapa permasalahan seperti bertambahnya biaya produksi, berkurangnya produksi yang dapat dihasilkan, dan adanya kesan pajak tambahan kepada perusahaan untuk melakukan CSR. Apabila CSR dimasukkan ke dalam biaya perusahaan, maka akan dapat menyebabkan menggelembungnya pengeluaran perusahaan, sedangkan dengan adanya CSR ini kemungkinan biaya untuk memproduksi atau bahan baku dapat dikurangi. Dengan demikian dapat menyebabkan output yang lebih sedikit dan berdampak kepada berkurangnya laba/pemasukan dari perusahaan tersebut.
Kata-kata “kepatutan dan kewajaran” tidak dapat didefinisikan secara tepat, sebab ukuran dari sesuatu yang patut dan wajar sangatlah subjektif. Perusahaan bisa saja melakukan CSR yang kurang berguna/mutunya tidak sebanding dengan kemampuan perusahaannya, sedangkan apabila perusahaan tersebut adalah perusahaan yang berskala transnasional, maka seharusnya perusahaan tersebut dapat melakukan CSR yang lebih baik dari CSR yang perusahaan tersebut lakukan. Sehingga kata-kata ‘kepatutan dan kewajaran” ini dapat mengakibatkan ketidakpastian mengenai standar CSR yang harus dilakukan oleh perusahaan.

Ayat 3 : “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Penerapan sanksi bagi pelanggar ketentuan undang-undang memang sepantasnya untuk dihukum, namun seharusnya ada sebuah mekanisme terlebih dahulu sebelum hukuman itu dijatuhkan. Kemudian sanksi apakah yang dapat dikenakan terhadap perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut? Penulis berpendapat bahwa sanksi yang tepat diberikan berupa sanksi administratif, mulai dari teguran kepada perusahaan tersebut, sampai pencabutan izin usaha perusahaan tersebut. Kemudian permasalahan kedua adalah peraturan perundang-undangan manakah yang digunakan sebagai dasar acuan pemberian sanksi bagi perusahaan yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut? Penulis berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan yang dipakai adalah Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai peraturan pelaksana dari pasal ini.
Penulis berpendapat bahwa sebaiknya ada beberapa perubahan yang dilakukan dalam pasal ini, antara lain :
1. Ayat (3) menjadi ayat (5)
2. Perlu dilakukan penambahan ayat dalam pasal ini, antara lain :
a) Ayat 3 yang baru mengatur :
“Perusahaan wajib memberikan laporan secara berkala mengenai kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah dilakukan.”
Hal ini penting sebagai sebuah bentuk transparansi publik serta dapat memenuhi hak rakyat atas informasi. pengaturan mengenai sistematika, bentuk laporan, dan waktu pemberian laporan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari pasal ini.
b) Ayat 4 yang baru mengatur :
”Untuk melakukan pengawasan tersebut, dibentuk sebuah badan pengawas.”

Pembahasan mengenai pembentukan, jenis, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab badan pengawas ini ditentukan dalam Peraturan Pemerintah mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagai aturan pelaksana pasal ini. Urgensi adanya sebuah badan khusus yang bertugas mengawasi terlaksananya tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan ini adalah agar kegiatan tersebut dapat berjalan dengan maksimal dan semestinya. Perusahaan yang telah melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungannya dapat memberikan laporan kegiatan mereka kepada badan ini. Badan ini kemudian memeriksa apakah perusahaan tersebut telah melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan mereka dengan baik. Penulis berpendapat bahwa badan pengawas ini merupakan badan independen yang tidak terikat dengan satu departemen tertentu dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Hal ini dimaksudkan agar badan pengawas ini dapat mengawasi semua macam perusahaan, baik perusahaan swasta, BUMN, maupun perusahaan asing yang ada di Indonesia. Alasan lain kedudukan badan pengawas ini secara independen adalah karena departemen yang mengatur dan mengawasi perusahaan tidak hanya satu departemen melainkan lintas departemen.
Ayat 4: “Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Peraturan mengenai CSR ini dilaksanakan oleh Peraturan Pemerintah (PP) karena secara hierarkis peraturan perundang-undangan berada di bawah undang-undang (UU). Peraturan Pemerintah berfungsi sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang, dalam hal ini adalah UU PT yang mengatur mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pembahasan mengenai CSR tidak dibuat dalam UU baru karena telah dibahas dalam UU PT, peraturan peralihannya pun sudah jelas bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana UU. Dengan demikian, pembahasan mengenai CSR cukup diatur dalam saja PP karena dasar-dasar pokoknya telah diatur dalam UU PT. Dikarenakan penulis mengusulkan dua pasal seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka ayat 4 ini berubah menjadi ayat 6.
Saran-Saran
(1) Pencerdasan lebih lanjut mengenai pentingnya penerapan CSR, (2) Adanya revisi pada UU 40/2007 tentang PT khususnya pada pasal 74 tentang Tanggung jawab sosial dan lingkungan, (3) Pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai pengaturan lebih lanjut tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan, (4) Pembentukan lembaga pengawas yang akan memantau dan memastikan penerapan CSR sesuai dengan peraturan yang berlaku, (5) Sosialisasi terhadap UU harus dilakukan. Pastinya tidak semua masyarakat tahu akan hal ini, padahal peran masyarakat dalam memastikan penerapan CSR sangat besar, (6) law enforcment atau penegakkan hukum.

*) Tulisan ini pernah diajukan dalam Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa 2008 dan penulis mendapatkan Juara II pada tingkat Universitas Indonesia. Penulis adalah Jesco Siahaan, Lidyar Indhira Putri dan M. Naufal Fileindi (Ketiganya merupakan mahasiswa FHUI angkatan 2006).
Daftar Pustaka:
Indonesia (a). Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat.
Indonesia (b). Undang-undang tentang Perseroan Terbatas. No.1 tahun 1995. LN Nomor 13 tahun 1995. TLN 3587.
Indonesia (c). Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. No.10 tahun 2004. LN Nomor 53 tahun 2004. TLN 4389.
Indonesia (e). Undang-undang tentang Perseroan Terbatas. No.40 tahun 2007. LN Nomor 106 tahun 2007. TLN 4756.
Asshiddiqie, Jimly. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2002.
Budimanta, Arif; Adi Prasetijo, dan Bambang Rudito. Corporate Social Responsibility Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development, 2004.
Indriati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan 1:Jenis, fungsi dan materi muatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal hukum: suatu pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2003.
Nugraha, Safri, et al. Hukum Administrasi Negara. Depok: CLGS-FHUI,2007
Rudito, Bambang dan Melia Famiola. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia. Bandung: Rekayasa Sains, 2007.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986.
Sukada, Sonny et.al., Membumikan Bisnis Berkelanjutan: Memahami Konsep dan Praktik Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jakarta: Indonesia Business Link, 2006.
Tjahjono, Herry. “ CSR, Kini Semakin Menjanjikan,” Majalah Tempo. Edisi 23-29 April 2007.
Wahyu, Meiske Demitria. “Pelaksanaan Prinsip Corporate Social Responsibility di Indonesia; Studi Kasus: PT.Unilever Indonesia, TBK.” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2007.

Kamis, 13 Maret 2008

Andai Aku Bukan Indonesia

Merajut Harapan Tinggal di Daerah Perbatasan

Oleh: Jesco Siahaan

Pendahuluan

Siapapun pasti akan tergoda bila “melihat rumput tetangga jauh lebih hijau.” Namun apakah yang terjadi jika perasaan tersebut dihadapkan dengan rasa nasionalisme seseorang?

Secara geografis, Negara Kesatuan Republik Indonesia ini merupakan kesatuan dari sebanyak 18.110 pulau. Sungguh sebenarnya merupakan suatu keunikan tersendiri bagi Pemerintah di dalamnya untuk memanage negara ini sedemikian rupa sehingga wacana dalam alinea IV UUD 1945 secara penuh menjadi sebuah fakta. Komitmen untuk melakukan pembangunan nasional tentunya menjadi tanggung-jawab dari semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat itu sendiri. Konteks yang demikian, tentunya harus dilakukan dengan pendekatan secara holistik yang mencakup semua bagian dan wilayah bangsa. Posisi geografis RI yang diapit oleh dua benua dan dua samudera menjadikan Indonesia memiliki batas wilayah internasional dengan 10 negara tetangga. Dengan keyataan geografis seperti ini, tentunya berpengaruh besar terhadap tanggung jawab pemerintah dalm mengelola daerah perbatasan. Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara, ia juga mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam, menjaga menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Oleh karena itu, masalah perbatasan sejatinya tidak hanya sekedar masalah mengenai daratan dan lautan ataupun pergerakan manusia sebagai pelintas batas, namun juga menyangkut masalah kesatuan dan harga diri sebuah bangsa yang berdaulat. Perbatasan sebuah negara menunjukkan kompleksitas tersendiri yang menunjukkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnis yang berbeda, ia bahkan membelah etnis yang sama kaena adanya sejarah kebangsaan yang berbeda oleh warga etnis yang sama.

Kondisi Daerah Perbatasan Kita dan Permasalahannya

Pada kenyataannya di kawasan perbatasan, banyak sekali ditemukan fakta-fakta yang menyedihkan bahkan ironis. Setidaknya itulah yang terjadi di kawasan perbatasan darat yang memisahkan antara negara Indonesia dengan negara Malaysia di pulau Kalimantan. Bayangkan, untuk mencapai Kecamatan Badau, Kabupaten kapuas Hulu, Kalimantan Barat, membutuhkan waktu hampir 20 jam perjalanan darat dari Pontianak (Ibu Kota Kalbar). Sulitnya akses ke daerah perbatasan membuat kawasan ini sering luput dari pengawasan aparat. Di kawasan perbatasan Kalimantan Barat secara faktual banyak ditemukan kasus pelanggaran keimigrasian, penyelundupan barang bahkan manusia (human trafficking), dan pencurian sumber daya alam. Adalah kenyataan bahwa patok-patok (tanda) batas antar negara merupakan persoalan yang layak dicermati. Contoh dari tidak jelasnya patok perbatasan dapat disaksikan di Kecamatan Badau tersebut. Di perbatasan Kalbar-Serawak Malaysia ini hanya ada sebuah tanah lapang yang ditengahnya terdapat papan bertuliskan “Perbatasan Indonesia-Malaysia” tanpa diserta adanya pagar pembatas ataupun bangunan lainnya yang menandakan bahwa itu adalah sebuah patokan perbatasan antar negara. Kenyataan ini memudahkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab memindahkan posisi atau merusaknya karena semata-mata mereka ingin mencari keuntungan dengan mengabaikan resiko melanngar kedaulatan sebuah negara. Hal tersebut setidaknya telah terjadi sekitar tahun 2006 yang lalu di Kecamatan Entikong, Kalbar, dimana suku dayak iban yang menempati daerah itu bertetanggaan dengan saudara mereka satu suku tetapi tempat tinggal tetangga mereka tersebut masuk wilayah negara Malaysia. Ironisnya suku dayak iban yang tempat tinggalnya masuk wilayah negara Malaysia kondisi ekonominya jauh lebih sejahtera dibanding suku dayak iban yang tempat tinggalnya masuk wilayah Indonesia. Lalu yang terjadi adalah mereka yang tinggal di Indonesia menggeser patok perbatasan agar tempat tinggal mereka masuk wilayah Malaysia atau dengan cara mobilisasi penduduk ke negara Malaysia. Kaburnya garis perbatasan antar negara akibat rusaknya patok-patok oerbatasan di Kalbar dan Kaltim menyebabkan sekitar 200 hektar hutan di Indonesia berpindah masuk menjadi wilayah Malaysia (Media Indonesia, 21 Juni 2001). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Badan Informasi Publik Departemen Komunikasi dan Informatika di daerah perbatasan di Kalbar dan Kaltim menunjukkan bahwa sebagian besar warga Indonesia yang tinggal di daerah perbatasan tersebut menyatakan bahwa negara tetangga (malaysia) lebih baik dari negara Indonesia dengan alasan bahwa di negara tesebut mudah mendapatkan pekerjaan, gaji lebih tinggi, fasilitas umum lebih memadai dan pelayanan publik lebih baik.

Sengketa Pulau Sipadan Ligitan dan Blok Ambalat merupakan salah satu permasalahan batas negara Indonesia dan Malaysia. Selain itu arus masuknya manusia dan masalah illegal logging terus terjadi di daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Maraknya illegal logging didkung dengan dana dari pengusaha kayu Malaysia. Pemerintah Malaysia seperti menutup mata atas kasus yang merugikan Indonesia ini. Salah satu sumber buku menyatakan bahwa Malaysia bahkan “memutihkan” kayu ilegal menjadi legal dengan cara diberi label legal untuk selanjutnya dijal ke Eropa dan Jepang dalam bentuk log, setengah jadi, maupun produk furnitur yang sudah jadi. Kurangnya penegakan hukum bagaikan jalang yang bolong dengan bebasnya cukong-cukong kayu ilegal dari tangan penegak hukum. Begitu juga dengan kasus Human Trafficking yang rentan terjadi. Alur yang biasa digunakan adalah dengan cara menipu sejumlah wanita dengan iming-iming pekerjaan dengan gaji besar dengan bekerja di bidang hiburan, lalu selanjutnya para korban diberangkatkan ke Malaysia melalui Entikong (Kaltim) dan selanjutnya dibawa ke Kuala Lumpur dan dipekerjakan disana sebagai pekerja seks komersial tanpa upah (Tempo, 17 Februari 2008). Prosedur keimigrasian yang menggariskan bahwa paspor diperlukan sebagai izin untuk melintas batas diabaikan. Kebanyakan para pelintas batas tidak memiliki paspor untuk melintasi batas negara, hal ini disebabkan oleh mahal dan berbelitnya prosedur pembuatan paspor juga oleh karena banyaknya jalan tikus yang dengan mudah dapat dilintasi untuk menyebrang ke negara tetangga. Hal ini seharusnya dapat ditanggulangi dengan memperbanyak kuantitas pos penjagaan perbatasan si sepanjang jalur darat perbatasan.

Konsepsi Pembangunan Daerah Perbatasan

Secara garis besar terdapat dua hal penting yang harus dilakukan yaitu pembangunan daerah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan untuk mengangkat taraf kehidupan masyarakat setempat dan pendekatan keamanan yang diperlukan guna terciptanya stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan sehingga memungkinkan terwujudnya keserasian hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara tetangga di sepanjang daerah perbatasan.

Penerapan kedua pendekatan tersebut dijadikan landasan tujuan pembangunan daerah yang terintregasi dan berkelanjutan, yakni:
a. Arah Pembangunan.

Arah pem-bangunan daerah perbatasan diprioritaskan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh pelosok daerah perbatasan guna meningkatkan kesejahteraan, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat di wilayah perbatasan serta pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu sesuai semangat otonomi daerah yang dinamis, serasi dan bertanggung jawab sehingga pada gilirannya dapat memberikan kontribusi untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

b. Tujuan Pembangunan Daerah Perbatasan.

Tujuan jangka panjang pembangunan daerah perbatasan yaitu untuk mewujudkan kehidupan masyarakat daerah perbatasan yang sejahtera dan berkeadilan dalam keharmonisan hubungan dalam segala aspek kehidupan.

Penutup

Sudah sepatutnya permasalahan di daerah perbatasan ini dijadikan isu penting bagi pemerintah untuk lebih serius lagi dibenahi. Efektifkan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjaga keutuhan kedaulatan negara kita ini. Perlebar jaringan komunikasi untuk terus menjaga kesadaran kebangsaan sebagai bangsa Indonesia. Percepatan pembangunan daerah perbatasan dengan membangunan pusat pertumbuhan tentunya ditujukan dalam upaya menjadikan daerah perbatasan sebagai kawasan pertumbuhan lintas batas internasional, kawasan perbatasan antarnegara, kawasan yang mendukung kepentingan pertahanan keamanan nasional.

Sumber:

1) Pusat Pengelolaan Pendapat Umum Departemen Komunikasi dan Informatika. Menelusuri Batas Nusantara:Tinjauan Atas Empat Kawasan Perbatasan. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2006.

2) http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=14&mnorutisi=6

3) http://www.tribunkaltim.com/TRIBUN-KALTIM-TERKINI/Daerah-Perbatasan-Perlu-Pembangunan-Terpadu.html